Jan 7, 2024
9 mins read
19views
9 mins read

Lolos dari Ancaman Maut karena Keimanan kepada Sang Pencipta

Iswahyudi

Kualitas karakter seorang pemimpin diuji saat momen krisis itu datang. Dan kekuatan keyakinan dan kepasrahan terhadap entitas yang lebih tinggi, Tuhan, sering nampak saat seseorang berada pada posisi hidup dan mati. Pada keyakinan, kepasrahan total pada Tuhan dan upaya yang keras keajaiban sering kali terjadi. Hari ini seluruh dunia menghadapi turbulensi yang parah akibat pandemi dan perang di berbagai belahan dunia. Sebagian besar pemimpin dunia menghadapi momen krisis yang bisa membuat bangsa dan negaranya terpuruk. Krisis pandemi ini tak pandang bulu apakah itu negara maju atau negara miskin semua merasakan guncangan yang mematikan. Bagaimana seharusnya seorang pemimpin menghadapi krisis? Apakah semakin dekat dengan Tuhan yang akhirnya berakhir dengan keselamatan? atau semakin pongah, bebal dan sok bisa yang akhirya harus tenggelam seperti kapal Titanic yang diciptakan penuh dengan keangkuhan kemudian berakhir dengan karam.

Kisah seorang pilot Garuda Indonesia Arlines, Kapten Pilot Abdur Rozaq bisa menjadi sebuah pelajaran berharga bagi para pemimpin ketika menghadapi momen krisis atau momen ancaman eksistensial. Dia menyampaikan pesan tersirat bahwa Tuhan bisa membantu saat semua ada di luar kendali, kuncinya selalu mendekat dan memperbaiki diri. Lolos dari maut dan selamatkan ratusan penumpang.

rozak12.jpg

Dalam dunia penerbangan menghadapi awan kumulonimbus bisa dimaknai sebagai sebuah krisis atau momen hidup dan mati bagi seorang pilot. Awan kumulonimbus merupakan momok bagi para pilot. Pasalnya, awan ini bisa menyebabkan turbulensi hebat. Oleh karena itu, tidak heran bila awan yang akrab disebut awan CB ini ditakuti banyak penerbang.

Ada banyak kecelakaan penerbangan disebabkan oleh awan CB seperti pesawat AirAsia QZ8501 di Selat Karimata, 29 Desember 2014. Pilot Irianto yang menerbangkan QZ8501 menjadi korban awan tersebut. Namun bukan berarti menghadapi CB adalah kontrak mati. Tidak sedikit pilot yang berhasil selamat dari kedahsyatan awan tersebut. Salah satunya, Pilot Senior Garuda Indonesia Airlaines, Kapten Pilot Abdul Rozaq.

Dalam wawancaranya di sebuah stasiun televisi swasta nasional, Minggu (4/1/2015), Kapten Pilot Abdul Rozaq pun mengaku menjadi saksi kekuatan awan CB. Pesawat Garuda Indonesia yang dia kemudikan terjebak dalam awan CB. Kisah Abdul Rozak ini, juga selalu diulas dalam buku ESQ Way karya motivator Ary Ginanjar Agustian.

Pada 16 Januari 2002, Kapten Pilot Abdul Rozak menerbangkan pesawat Boeing 737-300 dengan nomor flight GA 421 rute pelabuhan udara Selaparang, Lombok menuju pelabuhan udara internasional Adi Sucipto, Yogyakarta. Cuaca saat itu bersahabat, dan pesawat telah mencapai ketinggian 31.000 kaki. Di langit kota Blora Jawa Tengah, Indonesia pesawat yang dikemudikannya tiba-tiba masuk ke dalam awan kumulonimbus. Ini adalah satu-satunya pilihan yang bisa diambil oleh sang pilot. Tidak ada alternatif lain, kecuali menembus awan tersebut.

Beberapa saat kemudian, kedua mesin pesawat itu mati pada ketinggian 23.000 kaki. Sesuai prosedur penerbangan, pilot harus segera menghidupkan generator untuk menghidupkan kembali mesin yang mati itu. Namun, yang terjadi adalah kerusakan pada electricity power. Semua mesin total. “Astaghfirullah kapt (kapten), dua mesin mati semua. Apa yang harus dilakukan?” kata Abdul Rozaq, menirukan kepanikan ko-pilot Haryadi Gunawan saat itu. Dia segera melakukan wind mailing, memutar kembali propeller mesin dengan dorongan udara. “Kira-kira seperti mendorong mobil mogok dengan meluncurkan pesawat ke bawah,” katanya

Celakanya, ternyata usaha itu berakhir sia-sia. Listrik mati sehingga di dalam pesawat menjadi gulita. S e m e n t a r a itu, pesawat terus meluncur turun dari 23.000 kaki hingga ke 8.000 kaki.

Dalam benak Abdul Rozaq terbayang nasib ratusan penumpang yang berada di belakang ruang kokpit yang tidak mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Dia mulai merasa panik. Semua upaya dan prosedur penerbangan sudah dijalankannya, tetapi tidak ada titik terang. Ko-pilot mengirim pesan, “Mayday…mayday!” berulang kali, namun tidak ada jawaban. “Saya bilang, percuma karena semua peralatan mati. Radio juga mati,” tutur Rozak

Kondisi semakin kritis. Pesawat terbang terombang-ambing di dalam awan CB yang sangat tebal. “Saat itu saya berteriak Allahu Akbar..., Allahu Akbar, Allahu Akbar,” kata alumnus pelatihan DC-9 di Zurich itu. Pesawat tiba-tiba keluar dari awan sehingga dia bisa melihat dengan jelas semua yang terhampar di hadapannya. Yang harus Rozak lakukan adalah mendaratkan burung besi seberat 62 ton lebih itu dengan cermat dan tak banyak risiko ditanggung.

rozak.jpg

Di hadapannya, terlihat jelas hamparan sawah dan sebuah sungai. Ia harus membuat keputusan dengan cepat dan tepat, “Mendarat di sawah yang terlihat rata atau mendarat di Sungai Bengawan Solo dengan sebuah jembatan melintang di depannya?” Apabila keputusan itu ternyata salah maka akan berakibat fatal dan tragedi penerbangan akan terjadi, yaitu kematian dirinya dan kemungkinan seluruh penumpang. Pada momen krusial ini, Abdul Rozak berdiskusi dan berargumentasi singkat dengan ko-pilot, dan akhirnya diambil keputusan dramatis. Pesawat akan mendarat secara darurat di sungai, dan menjadikan sungai Bengawan Solo yang cukup dalam itu sebagai run-way.

“Saya putuskan di sungai. Saya berpikir, kalau di sawah risikonya lebih besar karena ada tegalan yang bisa menggesek body (pesawat) dan terbakar,” kata pria yang pernah jualan sayur setelah lulus STM pada 1976 itu.

Abdul Rozaq lalu melakukan descend (menurunkan pesawat) dan melakukan approach (mendekati) “landasan”. Ternyata, ada jembatan besi yang melintang di atas sungai. Terpaksa dia berputar kembali agar dapat mendarat melewati jembatan besi itu. Tanpa tenaga pendorong, pesawat meluncur. “Saya tidak memejamkan mata saat itu,” katanya. Setelah melewati jembatan itu dengan mesin mati dan tanpa tenaga pendorong, pesawat itu meluncur, dan ternyata pesawat berhasil mendarat. Namun, masih dalam keadaan meluncur, tak jauh di depannya menghadang lagi jembatan beton kedua, yang siap melumat pesawat apabila menabraknya. Namun tanpa disangka, sebelum sampai jembatan, tiba-tiba pesawat itu menabrak batu hingga bagian belakangnya sobek, dan membuat pesawat mendadak berbelok ke kanan, ke tempat yang lebih dangkal, dan tidak menabrak jembatan. Pada saat itulah, salah seorang pramugari tersedot keluar dan meninggal akibat lubang oleh batu besar tadi. Namun, tak terbayangkan, jika pesawat itu meluncur terus dan tidak berbelok ke kanan, tidak mustahil pesawat itu akan menabrak jembatan, dan karam di Sungai Bengawan Solo yang legendaris itu.

Pesawat akhirnya berhenti dengan selamat di sisi kanan sungai pada tempat yang dangkal. Padahal, di sekitarnya kedalaman air sekitar kurang lebih 10 meter. Seluruh penumpang bisa keluar dari pintu pesawat dengan selamat. Kabin pesawat dengan tekanan udara yang demikian kuat itu, justru dengan cepat dapat dibuka karena lubang yang tercipta akibat tabrakan batu besar tadi. Dan sebuah keajaiban terjadi seluruh penumpang dapat diselamatkan. Di dekat tempat kejadian, ada sebuah rumah kosong dan sebuah mobil sehingga para penumpang bisa segera dievakuasi, “Itu adalah tempat yang dipilihkan Allah buat kami. Penduduk Desa Serenan sangat sigap dan ikhlas membantu. Satu pun barang penumpang tidak ada yang hilang,” kata peraih penghargaan American Medal of Honor dari lembaga American Biographical Institute, North Carolina, Amerika Serikat, itu.

Razaq membukukan pengalaman fenomenalnya itu dengan judul “Miracle of Flight”. Momen hidup dan mati ini selalu ia gunakan sebagai pengingat bahwa Tuhan adalah Sang Penyelamat itu selalu hadir pada saat krisis, dalam sebuah foto kenangan untuk mengabadikan momen tersebut di kediamannya hasil liputan detik.com (19/01/2015) ada bingkai berukuran sekitar 50 x 30 cm yang di dalamnya tertempel kemudi pesawat, headphone pilot, telepon genggam yang di belakangnya tertempel 2 foto saat pesawat GA 421 itu mendarat di Sungai Bengawan Solo.

“Itu kemudi pesawat GA421, saya dikasih Garuda. HP itu yang waktu itu saya pakai berkomunikasi ke kantor sesaat setelah pendaratan darurat terjadi,” tuturnya.

Kemudian, di latar bingkai itu, ada pelat besi warna silver dengan tulisan warna hitam berbunyi : “Tidak ada yang pantas saya ucapkan kecuali sujud syukur sebagai ucapan terima kasih ya Allah atas pertolongan-Mu. Engkau begitu Agung, Engkaulah Raja Langit dan Bumi yang tiada batas kekuasaan kasih sayang dan kebesaranmu yang telah Engkau tunjukkan kepadaku dan kepada seluruh umat-Mu melalui musibah yang kualami Garuda GA 421 kini saya yakin bahwa Engkau selalu hadir pada saat saya berpegang teguh pada keyakinan yang kuat bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Ampuni saya Ya Allah. Saya tidak mampu berbuat tanpa kekuatan-Mu. Saya tidak mampu melihat tanpa pertolongan-Mu. Saya tidak mampu berjalan tanpa kasih sayang-Mu. Semoga Engkau ampuni kami. 16 Januari 2002”

Selamat dari gempa Palu

Gempa, Tsunami dan Likuifaksi yang menerpa di Kota Palu Sulawesi Indonesia akhir September 2018 membuat porak poranda bangunan dan seluruh infrastruktur yang ada. Dalam musibah ini juga menjadi saksi hidup pada momen bencana yang mematikan tersebut.

“Saya landing siang di Palu, dan akan melakukan penerbangan lagi esok hari nya,” ujar Kapten Pilot, Abdul Rozaq. Pada sore itu sekitar pukul 17.50 WITA, Jumat (28/9/2018) Rozaq sedang makan di kamar yang berada di lantai 5, tiba-tiba terjadi guncangan dahsyat hingga piringnya terjatuh. Abdul Rozaq langsung mencari perlindungam di bawah meja di kamar hotel. Setelah guncangan reda, dirinya langsung mencari jalur evakuasi keluar kamar. Namun pada saat keluar tidak ada akses untuk turun dari lantai 5 hotel.

“Saya coba cari pintu darurat, tapi pintunya nggak bisa terbuka lagi karena rusak, kemudian saya bertemu 4 orang lainnya yang juga ingin menyelamatkan diri. Salah seorangnya adalah istri dari Wakil Bupati Sorowako. Karena tidak ada akses keluar, kami melihat ada selang hydrant dan memanfaatkan selang tersebut, untuk keluar melalui jendela namun arus tsunami sangat deras dan tinggi di bawah hingga mencapai lantai 2 hotel. Akhirnya kami putuskan evakuasi setelah tsunami surut.” ujarnya.

Setelah berhasil menyelamatkan diri dari lantai 5, Pilot Senior berusia 62 tahun ini berusaha menyelamatkan lagi 10 orang yang berada di lantai 4, seorang diantaranya merupakan bayi berusia 9 bulan. Keesokan harinya, Sabtu (29/9/2018) Abdul Rozaq beserta korban lainnya dievakuasi menggunakan pesawat Hercules milik TNI AU sekitar pukul 13.00 WITA meninggalkan Kota Palu menuju Makassar. Landasan pacu di Bandara Kota Palu retak sekitar 300 meter dan tidak bisa didarati pesawat jenis boeing.

“Alhamdulillah sekali, saya masih selamat setelah 16 tahun lalu, Allah beri cobaan buat saya. Kali ini saya tidak terbayang akan terjadi hal seperti ini, dapat melihat orang minta tolong yang kemudian hilang bersama arus tsunami yang amat deras. Semoga kejadian ini bisa meningkatkan keimanan kita kepada Sang pencipta Allah SWT,” ujarnya.