Jan 3, 2024
8 mins read
32views
8 mins read

Jalan Pengabdian Para Sikerei Terakhir

Iswahyudi


Di tengah arus modernisasi, sangat berat mempertahankan tradisi. Itu dialami para Sikerei. Sikerei adalah orang yang dipercaya mempunyai kemampuannlinuwih oleh Suku Mentawai, seorang penyembuh, seorang yang dianggap sebagai penghubung antara alam, roh leluhur, dan sesama manusia. Jalan hidup menjadi Sikerei mungkin sangat berat dipikul oleh generasi kini karena banyak pantangan dan tabu. Hingga kini populasi Sikerei semakin sedikit, menua, dan sulit menemukan generasi sekarang yang mau menapaktilasi jalannya.

Dalam masyarakat adat Menawai, Sikerei mempunyai tanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat, mendiagnosa penyebab dan memusnahkan ketidakselarasan melalui kemampuan spiritual mereka dan kemampuan meramu dedaunan yang diperoleh di hutan belantara. Untuk menyembuhkan,

seorang Sikerei memerlukan ramuan, merapal mantra, alat musik dan melakukan tarian khusus yang disebut sebagai Turuk yang digunakan untuk menjalin komunikasi dengan leluhur.

sikerei1.jpg

Seorang Sikerei harus memiliki perilaku yang sangat baik dalam kehidupan, pantang menolak jika ada orang butuh bantuan untuk penyembuhan, serta mematut diri untuk menghindari tabu dan pantangan. Salah satu pantangan seorang Sikerei adalah tidak makan belut, tupai, dan bersebadan dengan istrinya 7 hari setelah melakukan penyembuhan kepada seorang yang sakit, dan itu berlaku tiap orang. Bila ia menyembuhkan 7 orang maka lamanya berpantang dikalikan 7, menjadi 49 hari. Bila itu dilanggar dia akan sakit bahkan yang paling fatal adalah meninggal dunia. Para Sikerei ketika mengobati orang tidak mematok bayaran. Serelanya pasien. Terkadang hanya diberi daging ayam, daging babi, atau rokok. Itupun mereka terima sebagai bentuk penghormatan.

Bagaimana Proses Menjadi Sikerei?

Menurut Aman Lepon seorang Kepala Suku Sikerei dari Butui, Siberut Selatan, Pedalaman Kepulauan Mentawai dalam sebuah FGD (Focus Group Discussion) bersama delegasi ‘Sekebun Aksi 2’ ( 2022 ), menuturkan beberapa proses seorang menjadi sikerei: Pertama, biasanya calon Sikerei menderita penyakit dalam jangka waktu lama dan tak kunjung sembuh. Kondisi ini diyakini bahwa ia dipanggil Leluhur menjadi seorang Sikerei. Seringkali ketika ia bersedia menjadi Sikerei penyakit hilang dan sembuh dengan sendirinya. Selain itu, bisa juga karena seseorang punya dorongan dalam dirinya untuk menempuh jalan hidup ini atau ada petunjuk datang dari mimpi.

Kedua, setelah ia mantap menjadi Sikerei, ia harus melakukan Tadek yaitu upacara untuk pengangkatan seseorang menjadi Sikerei. Karena upacara ini adalah momen yang sakral di mana menjadi suatu pemberitahuan bahwa akan ada seorang Sikerei baru, sekaligus menunjukkan bahwa menjadiseorang Sikerei haruslah belajar dulu kepada guru atau orang yang lebih dahulu menjadi Sikerei. Calon Sikerei baru ini umumnya berasal dari anak laki-laki dari seorang Sikerei atau orang biasa yang ingin menjadi Sikerei.

Dalam pandangan hidup orang Mentawai menjadi Sikerei berarti kembali kepada leluhur dan kepercayaannya yaitu Arat Sabulungan di mana kepercayaan ini memandang bahwa segala sesuatu yang bernama memiliki jiwa (kina, simagere, kecat, dan pitok), seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, benda bahkan fenomena yang tampak dalam beberapa waktu saja, seperti pelangi, dan langit tak berawan itu juga berjiwa.

Untuk menandai bahwa ia menempuh laku sebagai Sikerei biasanya mereka menatto tubuhnya yang biasanya disebut sebagai Titi yang diklaim sebagai seni tato paling kuno di dunia. Titi menggunakanpewarna rotan, arang kelapa, paku, jarum, dan dua potong kayu yang dibentuk menjadi tongkat mirip palu oleh seorang Sikerei.

Titi dianggap sebagai pakaian, lambang identitas, dan bagian dari hidup seorang Sikerei sehingga tidak heran bentuk tatto di tubuh mereka ada yang menyerupai seperti baju, hasil buruan, hingga matahari yang semuanya menggambarkan kesatuan tubuh mereka dengan alam.

Kisah Sikerei Termuda

Populasi Sikerei di ambang kepunahan, untung masih ada Aman Goddai ( 36 ) yang rela menapak jalan leluhur ini. Dengan segala tabu dan pantangan yang berat, Aman ikhlas mengabdi mengobati warga dan melestarikan ajaran leluhur yang mulai tergerus zaman.

“Saya habis mengobati orang. Rumah terbakar, orangnya luka (bakar). Diobati pakai daun-daun sejak empat hari lalu. Sekarang sudah sembuh,” kata Aman Goddai di Dusun Buttui, Desa Madobag, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu ( 27/7/2022 ) sebagaimana ditulis oleh kompas.id.

Aman Goddai satu dari belasan sikerei yang tersisa ada di Dusun Buttui, daerah pedalaman Pulau Siberut. Pria beranak lima ini sudah menjadi sikerei sejak 10 tahun lalu.

sikerei123.jpg

“Orang lain tidak sanggup terhadap tabunya. Kalau dilanggar, langsung mati. Banyak orang di sini meninggal,” ujar Aman

Goddai yang punya nama asli Bakkat Kunen. Menurutnya pantangan menjadi Sikerei, antara lain, tidak boleh memakan belut, ikan sebelah (flashfish) dan monyet putih. Setelah bertugas mengobati warga ataupun memimpin ritual adat, sikerei tidak boleh menggauli istri selama 2,5-3 pekan. Istri sikerei juga ti

dak boleh bekerja di luar rumah selama suami bertugas. Selain itu proses upacara memakan biaya sampai Rp 100 juta. Biaya itu untuk berbagai ritual dan pesta adat dalam proses menjadi Sikerei.Prosesnya sekitar 10 bulan.

Aman memang tak pernah terpikir menjadi Sikerei. Ia tak kuat menjalani tabu dan pantangannya. Dan tak ada tuntutan dari keluargnya walaupun ayahnya seorang Sikerei karena sudah memiliki penerus yaitu kakak sulungnya Aman Lepon ( 48 ). Rupanya roh leluhur memilihnya, sebelum menjadi Sikerei, Aman Goddai sakit sakitan. Ia sering demam panas dan muntah-muntah. Sakitnya berminggu-minggu, bahkan dua bulan, itu pun selalu berulang. Sikerei dari mana pun tak bisa mengobatinya.

“Saya ‘dipilih’ menjadi sikerei. Roh yang meminta. Kalau ditolak, meninggal, tidak ada obatnya. Setelah menjadi Sikerei, langsung sembuh. Sampai sekarang tidak pernah sakit lagi,” ujar Aman Goddai, yang sudah punya empat anak saat jadi sikerei. Bagi Aman, menjadi Sikerei adalah jalan pengabdian pada nilai-nilai leluhur yaitu melayani dan mengobati masyarakat. Ia tidak pernah meminta imbalan.

“Tak ada bayaran, ikhlas saja. Kadang cuma makan ayam atau babi bersama keluarga pasien. Kalau ada sisanya, mereka suruh bawa pulang. Kadang dikasih rokok sebungkus, saya terima. Tidak dikasih, tidak apa-apa,” kata Aman Goddai

sikerei.png

Untuk menghidupi keluarganya Aman berladang sagu, durian, pisang, keladi, dan berburu di hutan. Terkadang ia mendapat penghasilan dari kunjungan wisatawan yang menginap di Uma-nya (rumah adat suku Mentawai) yang ingin tahu kehidupan para Sikerei seperti cara tradisional mengo lah sagu, mencari dan meramu obat, berburu dengan panah, tarian adat, berladang, hingga ibu-ibu menangguk ikan jadi paket wisata menarik.

Meski jalan hidup Sikerei tak berorientasi ekonomi tapi Aman tak berani menomorsekiankan tugas ini. Jarak dan waktu tidak menyurutkan tekadnya. Kadang harus berjalan kaki berkilo meter dan menyeberangi lautan. Ketika semakin banyak orang yang diobati maka puasa tabunya akan semakin lama. “Saya pernah sakit. Tahu rasanya sakit. Maka, saya rela obati orang meskipun jauh, tanpa dibayar,” ujarnya.


Para Sikerei Berkali-Kali Jadi Korban Kebijakan Modernisasi

Kehidupan Sikerei sejatinya kehidupan yang sederhana, harmonis dengan alam, mengambil dari alam secukupnya dan tidak serakah. Dari aspek pakaian, orang modern menganggap kehidupan mereka masih primitif, diklaim menganut kepercayaan animisme tapi sejatinya mereka mewakili hutan itu sendiri yang merupakan paru-paru dunia. Para Sikerei selama berabad-abad menjembatani antara leluhur, alam dan masyarakat serta berhasil mengusir roh-roh jahat. Tapi di era modern ini mereka menghadapi ‘roh-roh jahat’ yang justru mengancam hutan itu sendiri.

Di era Orde Lama dan Orde Baru atas nama ‘memajukan’ masyarakat adat, mereka pernah dipaksa meninggalkan keyakinan mereka dan alat tradisional mereka dimusnahkan, serta direlokasi ke suatu daerah dan dijauhkan dari mata pencahariaan mereka di hutan. Kini wilayah hutan adat mereka tersisa 8 persen dari keseluruhan lahan di Siberut. Porsi terbesar dikelola pemerintah atau dilimpahkan hak pakainya pada korporasi. Dari sisi 8 % itu akhirnya kembali terancam juga sejak pemerintah memberikan izin pada PT. Biomass Andalan Energi untuk mengelola lahan demi budidaya tanaman energi terbarukan.

Hari ini yang dibutuhkan adalah para Sikerei yang bisa mengusir ‘roh-roh jahat’ yang membahayakan hutan. Yang ketika hutan itu menjadi kenangan pada akhirnya akan menghancurkan manusia dan kehidupan itu sendiri. Mereka adalah ‘The last Sikerei’, sebagaimana The Last Samurai di Jepang.

sikerei12.jpg